NAGARI-NAGARI DI “LIMA KAUM NAN BUNGSU”
Cerita Rakyat Sumatera Barat
KAB. TANAH DATAR SUMATERA BARAT
Dalam
pelbagai pepatah adat di Minangkabau, sudah menjadi pengetahuan orang
banyak bahwa ada dua kelarasan adat yang manyoritas dianut masyarakat
hukum adat di Minangkabau, yakni kelarasan adat Koto Peliang dan Bodi
Caniago. Di samping itu, kita juga mengenal adanya kelarasan adat Batang
Bangkaweh yang tidak menganut adat Koto Peliang maupun Bodi Caniago.
Konon kabarnya hanya ada satu nagari yang menganut kelarasan adat Batang
Bangkaweh ini, yakni nagari asa di Pariangan, Padang Panjang.
Dalam
banyak pantun dan mamang adat kita diperkenalkan kepada Datuek
Ketumanggungan sebagai pencipta kelarasan adat Koto Peliang dan Datuek
Perpatih Nan Sabatang sebagai pencetus kelarasan Badi Caniago yang bisa
dikatakan sebagai koreksi atas kekurangan-kekurangan daripada kelarasan
adat yang diperkenalkan oleh Datuek Ketumanggungan, sampai dengan
terjadinya peristiwa penikaman batu di situs Batu Batikam, yang menandai
pemisahan dari kedua kelarasan adat tadi. Seiring dengan berjalannya
waktu, satu persatu dari nagari yang dibuka dan dibangun oleh masyarakat
menundukkan diri pada salah satu kelarasan adat Koto Peliang atau Bodi
Caniago sampai kepada pembentukan persekutuan beberapa nagari dalam
penentuan kelarasan adat yang dipakai. Penentuan kelarasan adat tersebut
ditandai dengan reka bentuk balai-balai adat, bentuk rumah gadang,
susunan suku yang menetap di dalam nagari termasuk kedudukan para ninik
mamak yang ditabalkan untuk memerintah nagari, walau tidak kita pungkiri
jika kedua kelarasan adat itu kemudian saling berinteraksi, membaur dan
menggabungkan nilai-nilai yang dianut pada tiap-tiap nagari.
Sebagai
junjungan kelarasan adat Badi Caniago, Datuek Perpatih Nan Sabatang
mewariskan fungsi dan legitimasi kekuasaannya kepada Datuek Bandaharo
Kunieng di Limo Kaum. Hal yang sama juga berlaku kepada Datuek
Ketumanggungan yang mewariskan fungsi dan legitimasi kekuasaannya kepada
Datuek Bandaharo Putih di Sungai Tarab. Sekarang setelah para pencipta
dua kelarasan adat tadi wafat, semestinya kita hanya mengenal Datuek
Bandaharo Kunieng sebagai junjungan kelarasan adat Bodi Caniago dan
Datuek Bandaharo Putieh sebagai junjungan kelarasan adat Koto Peliang.
Khusus untuk Datuek Bandaharo Putieh, kita akan juga mengenal fungsi
adatnya sebagai Tuanku Titah atau Panitahan di Sungai Tarab, yang masuk
sebagai anggota Basa Ampek Balai di dalam susunan dewan menteri kerajaan
Minangkabau di bawah Rajo Alam.
Segala sengketa adat yang
berasal dari nagari-nagari yang menganut kelarasan Bodi Caniago pada
gilirannya akan bermuara kepada Datuek Bandaharo Kunieng di Limo Kaum,
sebelum diserahkan kepada Rajo Adat di Buo jika para pihak tidak puas
dengan keputusan Datuek Bandaharo Kunieng. Selanjutnya, hal yang sama
juga berlaku untuk nagari-nagari yang memakaikan kelarasan adat Koto
Peliang yang akan membawa sengketa adatnya kepada Datuek Bandaharo
Putieh di Sungai Tarab, sebelum naik banding kepada Rajo Adat di Buo.
Jelas dalam hal ini Rajo Adat di Buo hanyalah lembaga banding atas
sengketa adat di Minangkabau di mana kemudian kita ketahui bahwa simbol
warna dari kedua datuek bandaharo menjadi warna marawa gadang (bendera
kerajaan) Rajo Adat di Buo yang hanya menggunakan warna kuning dan putih
sebagai warna marawanya dan dibuat lebih besar dari marawa tiga warna,
hitam, kuning dan merah, pada setiap alek resmi kerajaan.
Kedudukan
balai-balai adat Datuek Bandaharo Kunieng adalah di Limo Kaum di mana
kita mengenal Limo Kaum sebagai persekutuan lima buah nagari yang
terdiri dari nagari-nagari Limo Kaum, Cubadak, Baringin, Labuh dan
Parambahan. Limo Kaum adalah persekutuan adat nagari yang paling awal
mengakui legitimasi kekuasaan Datuek Perpatih Nan Sabatang dan menganut
kelarasan adat Bodi Caniago. Itu sebabnya kita mengenal persekuatuan
adat 5 nagari di Limo Kaum ini sebagai Limo kaum Nan Tuo, karena dalam
perkembangan selanjutnya kita mengetahui adanya persekutuan adat 5
nagari lainnya yang kita sebut Limo Kaum Nan Tangah di Sungayang dan
Limo Kaum Nan Bungsu di Lubuk Jantan. Nagari-nagari yang berhimpun
dengan Limo Kaum Nan Tangah adalah Sungayang, Tanjung, Minangkabau,
Sungai Patai dan Andaleh Baruh Bukik dengan balai-balai adatnya terletak
di Sungayang. Sementara itu 5 nagari yang bersekutu dengan Lima Kaum
Nan Bungsu adalah Lubuk Jantan, Tepi Selo, Balai Tangah, Tanjung Bonai
dan Batu Bulek yang balai-balai adatnya di Lubuk Jantan, yang kemudian
dipindahkan ke Balai Tangah pada jaman pemerintahan Nan Dipertuan Hela
Perhimpunan Sultan Seri Maharaja Diraja sebagai Raja Adat di Buo, itu
sebabnya ada mamang adat yang mengatakan “balai tangah balai
perhimpunanâ€.
Sekarang wilayah persekutuan adat 5 nagari
Limo Kaum Nan Bungsu saat ini masuk dalam wilayah Kecamatan Lintau Buo
Utara. Sebelumnya kita hanya mengenal Kecamatan Lintau Buo saja, yang
melingkupi daerah IV Koto di Bawah dan V Koto di Ateh. Pada awalnya
kedua daerah ini menganut dua kelarasan adat yang berbeda yakni
kelarasan adat Koto Peliang di IV Koto di Bawah dan kelarasan adat Bodi
Caniago di V Koto di Ateh. Namun lama kelamaan daerah V Koto di Ateh
mulai terpengaruh dengan kelarasan adat Koto Peliang yang melahirkan
mamang adat yang berbunyi “IV Koto di Bawah nan Barajo dan V Koto di
ateh nan Basutan†dan balai-balai adatnya dipindahkan ke Balai Tangah
dengan menobatkan Datuek Simarajo di Rumah Tabieng, Lubuk Jantan sebagai
pucuek adat Limo Kaum Nan Bungsu di V Koto di Ateh, yang dibantu oleh 5
datuek bendaharo dari masing-masing nagari, yaitu:
1. Datuek Bandaharo Sati dari Lubuk Jantan,
2. Datuek Bandaharo Ratieh dari Tepi Selo,
3. Datuek Bandaharo Kasu dari Balai Tangah,
4. Datuek Bandaharo Sabaleh dari Batu Bulek dan
5. Datuek Bandaharo Hitam dari Tanjung Bonai.
Dalam
sejarah adat nagari Limo Kaum Nan Bungsu atau V Koto di Ateh, kedudukan
Datuek Simarajo di Rumah Tabieng, Lubuk Jantan sebagai pucuk adat
nagari sedikit bertentangan dengan dasar-dasar kelarasan adat Bodi
Caniago di mana menurut kelarasan adat Bodi Caniago, para Datuek dan
niniek mamak “duduknyo samo randah, tagaknyo samo tinggiâ€. Apalagi
dengan pemberian gelar “Tuanku Mudo Nan Godang†kepada Datuek
Simarajo ini sudah merupakan sifat khas dari adat istiadat dalam istana
kerajaan yang memang sudah lazim diterima oleh kelarasan adat Koto
Peliang. Belum lagi reka bentuk payung adat dan marawa yang ditetapkan
sebagai kebesaran adat Datuek Simarajo Tuanku Mudo Nan Godang, sudah
menjadikan Datuek Simarajo sama dengan rajo, sehingga lahirlah mamang
adat “IV Koto di Bawah nan Barajo, V Koto di Ateh Nan Basutanâ€,
dengan artian Datuek Simarajo Tuanku Mudo Nan Godang di Rumah Tabieng,
Lubuk Jantan adalah sutan untuk persekutuan adat nagari di Limo Kaum Nan
Bungsu.
Dalam kedudukannya sebagai pucuek adat V Koto di
Ateh, Datuek Simarajo juga pucuek adat di dalam nagari Lubuk Jantan itu
sendiri. Kedudukan Datuek Simarajo sebagai pucuek adat di Limo Kaum Nan
Bungsu tidak serta merta membuat daerah V Koto di Ateh lepas dari
kendali dan pengawasan Datuek Bandaharo Kunieng di Limo Kaum Nan Tuo.
Segala sengketa adat yang akan dibawa banding dalam peradilan adat
kelarasan Bodi caniago, tetap harus dibawa oleh Datuek Simarajo ke
hadapan Datuek Bandaharo Kunieng sebagai pemegang legitimasi dan
kekuasaan tertinggi kelarasan Bodi Caniago. Saat Datuek Simarajo sedang
pergi meninggalkan nagari Lubuk Jantan, maka ditunjuklah Datuek Bijayo
dari pesukuan Caniago Seberang Lurah sebagai “Tuanku Mudo Nan
Ketekâ€, di mana fungsinya sebagai wakil dari Tuanku Mudo Nan Godang
dalam urusan adat di dalam nagari Lubuk Jantan dan juga wilayah V Koto
di Ateh
Ditulis Oleh : Unknown ~ Tips dan Trik Blogspot
Sobat sedang membaca artikel tentang NAGARI-NAGARI DI “LIMA KAUM NAN BUNGSU”. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya

0 komentar:
Posting Komentar